Napak Tilas Sejarah Perkembangan Media di Indonesia
Suatu negara pasti mempunyai sejarah yang
mempunyai arti penting dalam perkembangan negara itu sendiri. Akan tetapi
faktanya sejarah justru disepelekan bahkan dibiarkan hilang tergerus
perkembangan zaman. Indonesia, sebuah negara besar yang sedang memasuki tahap
“pemantapan” dalam proses pembangunannya sangat perlu berkaca kepada sejarah
agar dapat merefleksikan peristiwa-peristiwa lampau sehingga bisa menjadi acuan
di masa yang akan datang. Segala peristiwa sejarah merupakan instrumen
pembelajaran yang multiguna dan dalam kesempatan kali ini akan diulas sejarah perkembangan
media di Indonesia melalui paparan singkat tentang Lokananta dan Monumen Pers
Nasional.
Di masa awal lahirnya negara ini, propaganda
pemerintah sangat gencar dilakukan. Di masa itu Indonesia mempunyai RRI (Radio
Republik Indonesia) yang menjadi basis utama penyebaran informasi kepada
masyarakat. Saat itu RRI masih menjadi raja, radio dengan jangkauan paling luas
dengan segmen pendengar dari semua umur. RRI juga menyiarkan tentang kesenian
Indonesia berupa lagu daerah. Untuk memudahkan proses siaran maka seluruh
koleksi lagu itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dan
disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia. Piringan hitam
diproduksi sekaligus digandakan oleh sebuah pabrik. Pabrik yang awalnya hanya
memenuhi kebutuhan siaran RRI inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya
Lokananta.
Lokananta adalah perusahaan rekaman musik
(label) pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal anggal 29 Oktober 1956
dan berlokasi di Jalan Achmad Yani,
Solo,
Jawa Tengah. Sebagai
pelopor, Lokananta menjadi anggota pertama dalam PPNRI (Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia). Sejak berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar,
yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam untuk keperluan siaran RRI. Asal-usul
nama Lokananta berasal dari nama seperangkat gamelan surgawi yang bisa berbunyi
sendiri dengan nada yang indah. Alat musik ini terletak di negeri Suralaya,
negeri para dewa menurut mitos pewayangan Jawa. Niat awal didirikannya
Lokananta memang didedikasikan untuk menjadi pusat rekaman untuk dan budaya nusantara.
Pada awalnya Lokananta tidak memiliki studio sendiri, semua rekaman dilakukan
di studio milik RRI.
Sebagai perintis dunia rekaman di Indonesia,
Lokananta dapat dikatakan sebagai kawah Candradimuka karena telah melahirkan
artis yang gemilang pada masa itu. Musisi keroncong kenamaan alm. Gesang
Martohartono tercatat pernah merekam dan memasarkan karya-karyanya melalui
label Lokananta. Selain Gesang, masih banyak lagi penyanyi-penyanyi legendaris
yang lahir dari Lokananta. Sebut saja Titiek Puspa, Waldjinah, Idris Sardi,
Nana Kirana, Soendari Soekotjo, Gumarang, Nenny Triana, dll. Dalang legendaris
Ki Narto Sabdo juga secara rutin merekam pentas-pentas wayangnya di Lokananta.
Tak hanya pentas wayangnya, Ki Narto Sabdo yang amat produktif mencipta gending
dan campursari Jawa juga merekam dan memasarkan karya-karyanya melalui
Lokananta. Lokananta pernah berjaya pada era ‘70an sampai awal 80’an karena
pada saat itu sedang booming piringan
hitam dan kaset pita magnetik berisi
lagu-lagu yang sedang digemari masyarakat. Musik gamelan dan keroncong menjadi brand image dari Lokananta saat itu.
Sebenarnya Lokananta merupakan sebuah tempat
rekaman yang sangat representatif pada masanya bahkan sampai sekarang.
Alat-alat dan instrumentasi produksi rekaman masih terawat cukup baik. Akan
tetapi bila dibandingkan perkembangan teknologi seperti sekarang maka Lokananta
masih tertinggal jauh. Memasuki periode tahun ‘90an Lokananta berangsur-angsur
turun pamor. Kejayaannya sedikit demi sedikit tergerus oleh munculnya perusahaan-perusahaan
label swasta yang kian menjamur. Selain itu, Lokananta juga harus bertarung
melawan pembajakan yang merajalela. Lokananta juga tidak mempunyai anggaran
dasar yang tetap dan hal tersebut makin membuat perjalanan hidup Lokananta
terseok-seok. Direksi Lokananta berusaha memperpanjang nafas Lokananta dengan
cara menyewakan lahan kosong di sekitar gedung Lokananta kepada pihak swasta.
Sekarang, di bagian samping depan gedung terdapat sebuah rumah makan dan arena
futsal, uang sewa dari kedua tempat itulah yang menjadi infus penunjang
kehidupan untuk Lokananta.
Gedung utama Lokananta yang bergaya art
deco tampak kusam dan muram. Di dalamnya hanya ada sembilan
karyawan yang bertugas menjaga semua benda yang penuh nilai sejarah seperti
piringan hitam, alat-alat produksi rekaman dsb. Ada hal yang sangat mengancam
keberadaan bukti-bukti otentik di Lokananta yaitu ancaman jamur dan rayap yang menggerogoti piringan
hitam dan jika dibiarkan harta karun musik Indonesia tersebut pada akhirnya
akan lenyap. Oleh karena itu sekarang Lokananta mengambil langkah penyelamatan
dengan mendigitalisasi seluruh koleksi piringan hitam dalam bentuk audio CD. Upaya
Lokananta dalam bertahan dari gempuran label musik baru yang semakin menjamur
banyak menemui kendala. Kendala-kendala tersebut sebisa mungkin harus
dipecahkan agar keberlangsungan Lokananta tetap berjalan. Ini terbukti dengan
terciptanya sebuah aplikasi kreasi asli dalam negeri yaitu e-gamelan. Dalam proses pembuatan e-gamelan, Lokananta bekerja sama dengan UDINUS (Universitas Dian
Nuswantoro) Semarang.
Nama
Lokananta sempat kembali muncul ke permukaan pada saat konflik
Indonesia-Malaysia tentang klaim kepemilikan lagu dan kesenian asli Indonesia. Peran
pers di sini sangat besar dalam usaha mengembalikan eksistensi Lokananta.
Berkaitan dengan peran pers, di Indonesia sendiri perkembangan pers banyak
sekali dinamikanya. Segala seluk-beluk perkembangan dunia pers di Indonesia
dapat dilihat di Monumen Pers Nasional.
Selain
Lokananta, Monumen Pers Nasional juga menjadi destinasi wisata edukasi yang
berkaitan dengan sejarah media. Monumen Pers Nasional terletak di Jalan Gajah
Mada nomor 59 Solo, Jawa Tengah. Terletak di jantung Kota Solo membuat Monumen
Pers Nasional menjadi sangat mudah diakses. Di sana tersimpan lengkap
jejak-jejak sejarah dunia media massa (pers) khususnya di Indonesia, monumen
pers ini adalah satu-satunya di Indonesia. Gedung Monumen Pers Nasional
memiliki arsitektur menarik dan terlihat sangat mencolok di antara bangunan
lain. Semula gedung ini adalah sebuah societiet milik kerabat
Keraton Mangkunegaran, gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA Sri Mangkunegoro
VII, pada tahun 1918 dan diperuntukkan sebagai balai pertemuan. Gedung ini juga
pernah menjadi markas besar PMI (Palang Merah Indonesia). Di gedung ini pula,
organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) terbetuk pada tanggal 9 Februari 1946, tanggal ini pula ditetapkan
sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional.
Monumen
Pers Nasional banyak menyimpan artefak kejayaan pers masa lalu sekaligus
beberapa diorama yang mendeskripsikan secara singkat perkembangan dunia pers di
Indonesia. Ada enam episode diorama yang dipertontonkan di ruang pamer Monumen
Pers Nasional, diorama-diorama tersebut dimulai dari penyampaian informasi pada
zaman pra-sejarah dilanjutkan dengan perkembangan pers pada era kolonialisme
Belanda. Berlanjut dengan era penjajahan seumur jagung oleh Jepang, kemudian
disambung dengan kisah perkembangan pers di masa awal kemerdekaan Indonesia dan
pada dua diorama terakhir digambarkan tentang pers masa orde baru kemudian
disambung dengan penggambaran pers setelah masa reformasi. Jika disusuri secara
menyeluruh maka anda akan menemukan banyak sekali koleksi mengagumkan yang
seolah mampu membangkitkan imajinasi tentang kejayaan dan perkembangan pers
dari masa lalu sampai saat ini.
Dua
destinasi wisata edukasi di atas merupakan salah satu fasilitas yang dapat
terus mengingatkan kita semua akan sejarah negeri ini, khususnya sejarah
mengenai perkembangan media. Janganlah mengacuhkan suatu sejarah sebab apabila
hal tersebut terjadi maka rantai informasi sebagai instrumen pembelajaran yang
multiguna untuk negeri ini akan terputus dan proses pembangunan tak akan
berjalan sesuai harapan.
Gharin Putra Yanotama (12/328671/SP/25050)
Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Gadjah Mada
Daftar
Pustaka