Kamis, 07 November 2013

Agresi Media Digital terhadap Media Cetak



Berbicara tentang perkembangan teknologi di era globalisasi seperti sekarang ini bisa jadi tidak akan ada habisnya. Perkembangan teknologi sudah merambah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat begitu pula dengan media. Tren dalam bermedia sudah mulai bergeser dari cetak ke digital. Terbukti, kini internet telah menyulap industri konvensional, menjadi industri yang berbasis digital, salah satunya adalah industri media massa. Hingga kini media massa tetap diyakini sebagai alat paling ampuh dalam mempengaruhi opini publik. Industri media cetak, media elektronik serta media online yang terus berkembang pesat dewasa ini membuat proses transmisi informasi seakan tak mengenal batas lagi. Berikut ini akan dibahas bagaimana dinamika perkembangan media khususnya media cetak di tengah agresi digital.
Penyebaran informasi sudah sangat cepat, berita-berita yang menjadi konsumsi khalayak datang bertubi-tubi dengan beragam konteks. Berita terkini bersifat time concern, yaitu penyajiannya sangat terikat pada waktu. Makin cepat disajikan makin baik. Dengan syarat, nilai beritanya harus kuat.[1] Pada mulanya hanya media cetaklah yang memonopoli proses penyebaran berita kepada masyarakat. Mungkin kita bisa memperhitungkan sejak kapan media digital menjamur di Indonesia. Pasca reformasi pada tahun 1998 lalu, pertumbuhan media massa berbasis online berjalan amat pesat. Dengan format penyajian yang digital tersebut, berita bisa lebih cepat menyebar dengan lebih efisien. Efisien di sini mencakup proses distribusi dan biaya produksi, selain itu media digital juga tidak terhalang oleh jarak geografis. Hal-hal lain yang membuat media digital makin berkembang di Indonesia adalah karena sifatnya yang fleksibel dan real time. Kebiasaan masyarakat yang cenderung menyukai hal yang ringkas juga dapat diakomodasi oleh media digital. Nilai lebih yang dibawa media digital adalah praktis dan fleksibel yaitu dapat diakses dari mana saja dan kapan saja.
Terlepas dari kemudahan yang ditawarkan oleh media digital, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang kekurangan yang dimiliki oleh media digital. Seringkali media digital hanya mengejar deadline atau mengutamakan kecepatan penyampaian berita sehingga bobot yang dikandung oleh berita itu sendiri menjadi ala kadarnya. Selain itu, proses penyuntingan materi berita yang akan disajikan dalam media digital seringkali dilakukan secara serampangan. Oleh karena itulah keotentikan konten berita dalam media digital masih dibawah media cetak.
Lahir terlebih dahulu membuat media cetak mempunyai daya tarik tersendiri. Khususnya di Indonesia, masih banyak orang yang belum melek terhadap perkembangan teknologi informasi. Dalam situasi yang seperti itu, media cetaklah yang mengambil alih peran media digital. Nilai lebih yang dibawa oleh media cetak adalah analisis lebih tajam. Analisis mendalam inilah yang dapat membuat orang benar-benar mengerti isi berita. Di sinilah peran media cetak terletak, yaitu mampu menciptakan iklim yang membuat orang berpikir lebih spesifik tentang isi tulisan.
Akan tetapi media cetak juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu terkendala dalam aspek distribusi, gangguan tersebut dipengaruhi oleh kondisi geografis suatu daerah. Selain itu, media cetak juga membutuhkan biaya produksi tinggi. Dengan beberapa kekurangan tersebut, banyak pengusaha media cetak berusaha beradaptasi dengan cara merombak tatanan publikasi media yang dimiliki sebelumnya. Sebagai contohnya adalah suratkabar yang kini tidak bisa lagi hanya menempatkan diri dalam pengertian media cetak semata. Banyak suratkabar yang kini juga menempatkan berita-beritanya di dunia digital. Mungkin dengan cara itulah media cetak bisa menghindari ketimpangan yang timbul dari perkembangan teknologi informasi yang pesat.
Dari segi kelebihan, media digital unggul dalam kecepatan, jenis kontennya yang lebih bervariatif dan berdaya jangkau luas, dapat diakses di manapun dan kapanpun, serta secara ekonomi sangat murah dalam biaya produksi sekaligus proses distribusinya. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan banyak manajemen perusahaan media cetak merubah formatnya menjadi media digital. Lahirnya era digitalisasi media juga turut membangkitkan tren online journalist ataupun citizen journalist. Terlebih lagi sekarang adalah masa kejayaan di mana perangkat elektronik seperti handphone, tablet, dsb semakin marak dijual di pasaran dengan harga terjangkau. Hal tersebut tentu saja membuat media cetak kembali tertinggal karena dengan gadget canggih tersebut media digital bisa diakses dengan mudah.
Teknologi internet (digital) menjadi salah satu ikon terbesar dari produk teknologi di zaman modern ini.[2] Akan tetapi masyarakat di Indonesia sendiri masih belum sepenuhnya siap menerima semua konsekuensi dari digitalisasi media. Belum ada indikasi pemanfaatan media secara bijak dan efektif dari masyarakat. Media cetak saja masih belum merambah Indonesia secara keseluruhan, apalagi media digital. Banyak sekali aspek yang perlu dibenahi dalam rangka mewujudkan masyarakat yang melek media.
Esensinya, baik media cetak maupun media digital mempunyai segmentasi masing-masing. Contoh praktisnya saja, orang pedesaan dan lansia cenderung memilih media cetak sebagai rujukan informasi sedangkan media digital lebih diminati oleh kawula muda. Sebagian lagi menganggap bahwa media cetak kurang ramah lingkungan karena penggunaan kertas yang begitu banyak. Di sisi lain media digital bisa saja membawa dampak buruk yang tak jauh dari fokus cybercrime.
Media massa entah itu cetak ataupun digital telah terbukti secara ampuh mempengaruhi khalayak luas dalam melakukan berbagai perubahan sosial. Diperlukan sebuah kesadaran dalam penggunaan media agar dapat memberikan manfaat yang maksimal. Hal yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa terdapat ciri khas dari media cetak yang tidak dimiliki oleh media digital yaitu kemampuan menciptakan iklim analisis yg mendalam. Sensasi dalam menikmati kedua media ini dapat dikomparasikan dengan jelas, di media cetak kita diajak untuk berpikir lebih lanjut dengan resiko jenuh. Sedangkan dalam media digital, kita menikmatinya dengan santai tetapi dengan kualitas konten yang kurang mendalam. Media manakah yang anda pilih, cetak atau digital?

Daftar Pustaka
Buku:
-        Wahyudi, J.B. 1996. Dasar-Dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
-        Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Web:


[1] Wahyudi, J.B. 1996. Dasar-Dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hal. 44.
[2] Lihat http://media.kompasiana.com/new-media/2012/12/03/quo-vadis-jurnalisme-online-memprediksi-masa-depan-media-cetak-dan-online-508107.html

Minggu, 12 Mei 2013

Part Time, antara Mental dan Sendal

Dunia ABG pasti labil. Ingin ini ingin itu banyak sekali~ Ah aku juga mengalami hal itu, duit dari bapak ibuk yang harusnya buat bensin, makan sehari-hari kadang melenceng alokasinya. Anggaran buat beli sandang gak termasuk dalam skala prioritas. Nah, sebagai ABG yang berkualitas pasti juga pengen tampil kece tapi gak mungkin juga kalo bergantung sama duit bapak ibuk.
Kebetulan jadwal kuliahku sangat selo, Senin-Rabu tok kuliahnya. Alhasil kondisi tersebut membuatku berniat mencari kerja paruh waktu. Niatnya cari pengalaman, ngisi waktu biar gak main dan foya-foya terus, faktor lain ya duit dong pastinya. Part time menuntut biar kita bisa manage waktu, pokoknya membangun mental disiplin. Disamping itu gajinya bisa buat beli sendal baru dan kulineran, asik kan? Capek banget, kadang tugas juga jadi keteteran. Esensinya cuma niat dan komitmen, loyalitas dan dedikasi sangat diperlukan di sini. INGAT! Kuliah tetep jadi nomer wahid, itu tanggungjawab yang kudu diemban biar bapak ibuk bangga.
Part time, antara mental dan sendal~

Minggu, 05 Mei 2013

Napak Tilas Sejarah Perkembangan Media di Indonesia

Suatu negara pasti mempunyai sejarah yang mempunyai arti penting dalam perkembangan negara itu sendiri. Akan tetapi faktanya sejarah justru disepelekan bahkan dibiarkan hilang tergerus perkembangan zaman. Indonesia, sebuah negara besar yang sedang memasuki tahap “pemantapan” dalam proses pembangunannya sangat perlu berkaca kepada sejarah agar dapat merefleksikan peristiwa-peristiwa lampau sehingga bisa menjadi acuan di masa yang akan datang. Segala peristiwa sejarah merupakan instrumen pembelajaran yang multiguna dan dalam kesempatan kali ini akan diulas sejarah perkembangan media di Indonesia melalui paparan singkat tentang Lokananta dan Monumen Pers Nasional.
Di masa awal lahirnya negara ini, propaganda pemerintah sangat gencar dilakukan. Di masa itu Indonesia mempunyai RRI (Radio Republik Indonesia) yang menjadi basis utama penyebaran informasi kepada masyarakat. Saat itu RRI masih menjadi raja, radio dengan jangkauan paling luas dengan segmen pendengar dari semua umur. RRI juga menyiarkan tentang kesenian Indonesia berupa lagu daerah. Untuk memudahkan proses siaran maka seluruh koleksi lagu itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dan disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia. Piringan hitam diproduksi sekaligus digandakan oleh sebuah pabrik. Pabrik yang awalnya hanya memenuhi kebutuhan siaran RRI inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Lokananta.
Lokananta adalah perusahaan rekaman musik (label) pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal anggal 29 Oktober 1956 dan berlokasi di Jalan Achmad Yani, Solo, Jawa Tengah. Sebagai pelopor, Lokananta menjadi anggota pertama dalam PPNRI (Perum Percetakan Negara Republik Indonesia). Sejak berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam untuk keperluan siaran RRI. Asal-usul nama Lokananta berasal dari nama seperangkat gamelan surgawi yang bisa berbunyi sendiri dengan nada yang indah. Alat musik ini terletak di negeri Suralaya, negeri para dewa menurut mitos pewayangan Jawa. Niat awal didirikannya Lokananta memang didedikasikan untuk menjadi pusat rekaman untuk dan budaya nusantara. Pada awalnya Lokananta tidak memiliki studio sendiri, semua rekaman dilakukan di studio milik RRI.
Sebagai perintis dunia rekaman di Indonesia, Lokananta dapat dikatakan sebagai kawah Candradimuka karena telah melahirkan artis yang gemilang pada masa itu. Musisi keroncong kenamaan alm. Gesang Martohartono tercatat pernah merekam dan memasarkan karya-karyanya melalui label Lokananta. Selain Gesang, masih banyak lagi penyanyi-penyanyi legendaris yang lahir dari Lokananta. Sebut saja Titiek Puspa, Waldjinah, Idris Sardi, Nana Kirana, Soendari Soekotjo, Gumarang, Nenny Triana, dll. Dalang legendaris Ki Narto Sabdo juga secara rutin merekam pentas-pentas wayangnya di Lokananta. Tak hanya pentas wayangnya, Ki Narto Sabdo yang amat produktif mencipta gending dan campursari Jawa juga merekam dan memasarkan karya-karyanya melalui Lokananta. Lokananta pernah berjaya pada era ‘70an sampai awal 80’an karena pada saat itu sedang booming piringan hitam dan kaset pita magnetik  berisi lagu-lagu yang sedang digemari masyarakat. Musik gamelan dan keroncong menjadi brand image dari Lokananta saat itu.
Sebenarnya Lokananta merupakan sebuah tempat rekaman yang sangat representatif pada masanya bahkan sampai sekarang. Alat-alat dan instrumentasi produksi rekaman masih terawat cukup baik. Akan tetapi bila dibandingkan perkembangan teknologi seperti sekarang maka Lokananta masih tertinggal jauh. Memasuki periode tahun ‘90an Lokananta berangsur-angsur turun pamor. Kejayaannya sedikit demi sedikit tergerus oleh munculnya perusahaan-perusahaan  label swasta yang kian menjamur. Selain itu, Lokananta juga harus bertarung melawan pembajakan yang merajalela. Lokananta juga tidak mempunyai anggaran dasar yang tetap dan hal tersebut makin membuat perjalanan hidup Lokananta terseok-seok. Direksi Lokananta berusaha memperpanjang nafas Lokananta dengan cara menyewakan lahan kosong di sekitar gedung Lokananta kepada pihak swasta. Sekarang, di bagian samping depan gedung terdapat sebuah rumah makan dan arena futsal, uang sewa dari kedua tempat itulah yang menjadi infus penunjang kehidupan untuk Lokananta.
Gedung utama Lokananta yang bergaya art deco tampak kusam dan muram. Di dalamnya hanya ada sembilan karyawan yang bertugas menjaga semua benda yang penuh nilai sejarah seperti piringan hitam, alat-alat produksi rekaman dsb. Ada hal yang sangat mengancam keberadaan bukti-bukti otentik di Lokananta yaitu ancaman  jamur dan rayap yang menggerogoti piringan hitam dan jika dibiarkan harta karun musik Indonesia tersebut pada akhirnya akan lenyap. Oleh karena itu sekarang Lokananta mengambil langkah penyelamatan dengan mendigitalisasi seluruh koleksi piringan hitam dalam bentuk audio CD. Upaya Lokananta dalam bertahan dari gempuran label musik baru yang semakin menjamur banyak menemui kendala. Kendala-kendala tersebut sebisa mungkin harus dipecahkan agar keberlangsungan Lokananta tetap berjalan. Ini terbukti dengan terciptanya sebuah aplikasi kreasi asli dalam negeri yaitu e-gamelan. Dalam proses pembuatan e-gamelan, Lokananta bekerja sama dengan UDINUS (Universitas Dian Nuswantoro) Semarang.
               Nama Lokananta sempat kembali muncul ke permukaan pada saat konflik Indonesia-Malaysia tentang klaim kepemilikan lagu dan kesenian asli Indonesia. Peran pers di sini sangat besar dalam usaha mengembalikan eksistensi Lokananta. Berkaitan dengan peran pers, di Indonesia sendiri perkembangan pers banyak sekali dinamikanya. Segala seluk-beluk perkembangan dunia pers di Indonesia dapat dilihat di Monumen Pers Nasional.
               Selain Lokananta, Monumen Pers Nasional juga menjadi destinasi wisata edukasi yang berkaitan dengan sejarah media. Monumen Pers Nasional terletak di Jalan Gajah Mada nomor 59 Solo, Jawa Tengah. Terletak di jantung Kota Solo membuat Monumen Pers Nasional menjadi sangat mudah diakses. Di sana tersimpan lengkap jejak-jejak sejarah dunia media massa (pers) khususnya di Indonesia, monumen pers ini adalah satu-satunya di Indonesia. Gedung Monumen Pers Nasional memiliki arsitektur menarik dan terlihat sangat mencolok di antara bangunan lain. Semula gedung ini adalah sebuah societiet milik kerabat Keraton Mangkunegaran, gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA Sri Mangkunegoro VII, pada tahun 1918 dan diperuntukkan sebagai balai pertemuan. Gedung ini juga pernah menjadi markas besar PMI (Palang Merah Indonesia). Di gedung ini pula, organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) terbetuk pada tanggal 9 Februari 1946, tanggal ini pula ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional.
               Monumen Pers Nasional banyak menyimpan artefak kejayaan pers masa lalu sekaligus beberapa diorama yang mendeskripsikan secara singkat perkembangan dunia pers di Indonesia. Ada enam episode diorama yang dipertontonkan di ruang pamer Monumen Pers Nasional, diorama-diorama tersebut dimulai dari penyampaian informasi pada zaman pra-sejarah dilanjutkan dengan perkembangan pers pada era kolonialisme Belanda. Berlanjut dengan era penjajahan seumur jagung oleh Jepang, kemudian disambung dengan kisah perkembangan pers di masa awal kemerdekaan Indonesia dan pada dua diorama terakhir digambarkan tentang pers masa orde baru kemudian disambung dengan penggambaran pers setelah masa reformasi. Jika disusuri secara menyeluruh maka anda akan menemukan banyak sekali koleksi mengagumkan yang seolah mampu membangkitkan imajinasi tentang kejayaan dan perkembangan pers dari masa lalu sampai saat ini.
               Dua destinasi wisata edukasi di atas merupakan salah satu fasilitas yang dapat terus mengingatkan kita semua akan sejarah negeri ini, khususnya sejarah mengenai perkembangan media. Janganlah mengacuhkan suatu sejarah sebab apabila hal tersebut terjadi maka rantai informasi sebagai instrumen pembelajaran yang multiguna untuk negeri ini akan terputus dan proses pembangunan tak akan berjalan sesuai harapan. 

Gharin Putra Yanotama (12/328671/SP/25050)
Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Gadjah Mada

Daftar Pustaka
http://rollingstone.co.id/read/2012/10/27/145255/2073969/1100/lokananta-menyelamatkan-musik-indonesia. Diunggah pada hari Sabtu 27 Oktober 2012 pukul 14:52 WIB oleh Ayos Purwoaji dan Fakhri Z. Diakses pada hari Jumat 3 Mei 2013 pukul 22.35 WIB.
http://regional.kompas.com/read/2013/04/28/20560055/Monumen.Pers.Dari.Koran.Tertua.hingga.Tas.Wartawan.Udin. Diunggah pada hari Minggu 28 April 2013 pukul 20:56 WIB oleh Ika Fitriana. Diakses pada hari Jumat 3 Mei 2013 pukul 22.45 WIB.


              


Selasa, 19 Maret 2013

G 'H' A R I N!! Bukan Garin dan Aku bukan Keturunan Jepang~


Sebuah Nama, Sebuah Cerita
Saat membaca judul di atas, sekilas mirip judul album dari band Peterpan terdahulu. Benar saja demikian, sebuah nama pastilah mengandung sejarah dan harapan di dalamnya. Begitu pula nama yang kita dapat dari orang tua, mereka menanam doa dalam setiap penciptaan sebuah nama. Ada pepatah, “Apalah arti sebuah nama?” mengundang kita untuk menelisik arti dibalik nama yang kita miliki. Nama seakan berusaha memberikan “label” terhadap diri penulis. Label yang benar-benar harus sesuai dengan kenyataan. Harapan dan doa disertakan dalam setiap nama seseorang. Nampaknya terkesan klise namun memang itulah yang terjadi. Nama akan memberikan kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Nama akan menjadi panduan dalam sebuah perjalanan hidup manusia. Nama, kelak juga akan menjadi sebuah piranti kenangan.
Gharin Putra Yanotama mengandung sebuah arti dan kombinasi harapan yang dalam dari ayah ibu. Menjadi putra pertama yang tentunya sangat diharapakan kehadirannya adalah kebanggaan tersendiri. Dibalik kebanggaan tersebut juga muncul tanggung jawab untuk membuktikan kepada orang tua bahwa harapan yang mereka punya memang bisa diandalkan.
Nama depan “Gharin” mengandung arti anak teladan. Sebuah doa dan harapan yang sangat mulia sekaligus menjadi tanggung jawab yang cukup berat. Menjadi seorang yang dapat memberikan teladan bukanlah hal yang mudah namun dengan keyakinan tentang doa dan usaha penulis dapat mewujudkan harapan yang terkandung dari sebuah nama depan. Selanjutnya adalah “Putra” sebagai nama tengah yang bermakna anak laki-laki. Sebuah nama yang lugas dan tegas. Putra, dalam dunia nyata dituntut harus tangguh dan mandiri, hal itulah yang menjadi harapan ayah ibu dibalik nama tengah penulis. Yang terakhir adalah nama belakang “Yanotama”, diambil dari bahasa Sansekerta yang mengandung pengertian warga negara yang baik. Terdapat sedikit keunikan dibalik kata “Yanotama” yang sekilas pelafalannya mirip nama orang Jepang. Banyak teman yang mempertanyakan apakah penulis mempunyai hubungan darah dengan orang Jepang, padahal tidak sama sekali. Secara keseluruhan dapat diringkas bahwa “Gharin Putra Yanotama” berarti warga negara teladan dari putra bangsa. Nama, sebuah kombinasi kata yang mungkin sederhana tapi punya sejuta makna. Jangan sampai sebuah nama meleset dari harapan pencetusnya.

Penjelajah Jogja :)





Dari awal aku memang suka main, jalan-jalan, dll. Dan benar saja, libido travelling yang overdosis bisa kulampiaskan bersama keluarga baruku di Ilmu Komunikasi UGM. Beberapa pantai di selatan Jogja sudah diperawani oleh kami, menyenangkan sekaligus mengakrabkan.

Senin, 19 November 2012

Kiamat? Ramalan?


Gharin Putra Y./ 25050

Final Prophecy Bukanlah Hal yang Final
Dunia sempat heboh dengan dirilisnya film yang membahas tentang hari kiamat berjudul 2012. Film yang disutradarai oleh Roland Emmerich ini terinspirasi oleh ide peristiwa hari kiamat global yang bersamaan dengan akhir putaran kalender hitungan Suku Maya pada 21 Desember 2012. Dengan beberapa kontroversi yang sempat ditimbulkannya, akhirnya film 2012 menjadi salah satu film yang paling banyak ditonton. Sepertinya masyarakat dunia sempat dibuat cemas oleh film ini, bahkan sampai sekarang masih banyak yang memperdebatkan masalah kiamat di tahun 2012 ini.
Ada satu film lagi yang mencoba menelisik teka-teki hari akhir dunia. Film dokumenter yang dirilis oleh National Geographic ini berjudul “2012: The Final Prophecy”. Adam Maloof, seorang geoscientist dari Princeton University, Amerika Serikat mencoba menganalisis fenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini dan menghubungkannya dengan ramalan Suku Maya. Dalam film dokumenter ini Adam Maloof mengambil sudut pandang ilmiah dalam analisis fenomena alam yang terjadi. Ia berusaha membandingkan ramalan Suku Maya dengan kondisi bumi saat ini. Semua penjelasan ilmiah yang terkandung dalam film dokumenter ini mungkin akan membuat semua orang yang melihatnya bisa mengambil susut pandang tentang hari kiamat yang diramalkan oleh Suku Maya.
Suku Maya dikenal sebagai suku yang mempunyai peradaban tinggi. “Berdasarkan bukti-bukti sejarah, Suku Maya adalah sebuah peradaban yang ada di Amerika Tengah; Mexico, Guatemala, Belize, El Savador, sebagian Honduras, dan daerah Semenanjung Yucatan. Memiliki masyarakat yang kemempuan menulisnya cukup baik. Dan, juga memiliki kemampuan untuk membangun kota beserta perencanannya”.1 Dari tempat tinggal hingga rumah ibadah dibangun dengan arsitektur menawan. Sistem kalendernya pun sangat cermat dan rinci. Dalam film dokumenter 2012: The Final Prophecy diilustrasikan bentuk sistem penanggalannya. Berbentuk seperti bulatan roda penuh relief yang membentuk simbol penanggalan dan dinamakan “Siklus Baktun”. Siklus Baktun tersebut berakhir bertepatan pada tanggal 21 Desember 2012 dan diterjemahkan sebagai “End of times”. End of times sendiri masih menjadi perdebatan kalangan ilmuan peneliti. Suku Maya diilustrasikan sebagai suku yang kaya budaya. Dalam film dokumenter ini terdapat beberapa adegan yang melukiskan kegiatan upacara adat dan beberapa situs peninggalan yang megah.

Adam Maloof sendiri juga meninjau lokasi reruntuhan peradaban Suku Maya di Mexico untuk mengorek informasi yang mendukung proyek analisisnya. Ia pun berkunjung ke Australia untuk meneliti batuan demi membuktikan teori pergeseran benua. Pegunungan Andes di Amerika Selatan juga menjadi objek penelitian Maloof untuk menyelidiki perubahan iklim global. Di Pegunungan Andes ia menemukan fakta bahwa lapisan es sudah mencair dalam waktu yang realtif singkat. Semua penyelidikan yang dilakukan oleh Adam Maloof dan rekannya membuktikan bahwa memang benar sedang terjadi krisis iklim global, teori pergeseran benua pun juga benar adanya seperti yang dikemukakan oleh Alfred L. Wagener dahulu.
Penulis merasa semua itu adalah kondisi yang normal. Pergeseran lempeng bumi adalah fenomena alami yang disebabkan oleh astenosfer yang selalu bergejolak. Sedangkan perubahan iklim global yang sangat signifikan disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak menerapkan prosedur ramah lingkungan. Penulis mengambil sudut pandang yang berdasarkan atas ajaran agama Islam. Dalam menyikapi ramalan kiamat 2012 kita semua harus berpikiran rasional, kiamat tidak ada yang dapat meramalkannya kecuali Tuhan YME. Tentang bencana yang kerap terjadi, itu juga adalah kuasa Tuhan. Perubahan iklim yang ektrim harus kita sikapi dengan usaha rehabilitasi lingkungan.
Kiamat adalah suatu peristiwa yag pasti bakal terjadi, luar biasa dan sangat agung, yang tidak dapat ditolak dan dihindari oleh siapa pun.2 Ramalan Suku Maya adalah salah satu peninggalan sejarah masa lalu. Ramalan tersebut membuktikn bahwa peradaban manusia masa lalu sudah cukup tinggi. Menyikapi suatu ramalan tak perlu berlebihan, jadikan ramalan tersebut sebagai media instropeksi untuk menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Hal yang menjadi kesimpulan penulis adalah Final Prophecy bukanlah sebuah hal yang final.



__________
1.Giriwijayanto. 2012. Fakta-fakta Menjelang Kiamat 2012: Akhir dari Sebuah Siklus Besar Kehidupan. Yogyakarta: Narasi. hal.13

2.Mundzirin Yusuf. 2010. Membantah Kiamat 2012. Yogyakarta: Mutiara Media. hal.12

Daftar Pustaka
Buku:
Giriwijayanto. 2012. Fakta-fakta Menjelang Kiamat 2012: Akhir dari Sebuah Siklus Besar Kehidupan. Yogyakarta: Narasi
Yusuf , Mundzirin. 2010. Membantah Kiamat 2012. Yogyakarta: Mutiara Media
Internet:
http://rvfqy.wordpress.com/2009/12/. Diakses pada tanggal 1 November 2012, pukul 22.15 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Peradaban_Maya. Diakses pada tanggal 1 November 2012, pukul 22.20 WIB
http://natgeotv.com/asia/2012-the-final-prophecy/videos/2012-the-final-prophecy. Diakses pada tanggal 1 November 2012, pukul 22.25 WIB
Film:
Film 2012 The Final Propechy yang disaksikan pada Jumat, 19 Oktober 2012.


#bridgingcourse11